Di zaman KH Badruddin hidup (sempat menjabat Ketua MUI Kalsel), kitab ini “dilarang” untuk diajarkan oleh guru-guru yang belum cukup ilmu. Karena dikhawatirkan salah paham, dan menjadi aliran sesat.
Karena itu, KH Badruddin bersama saudara beliau, KH Muhammad Rosyad kerap “berpatroli” mencari aliran sesat atau yang akrab dikenal dengan “Aliran Sabuku” dari desa ke desa. Jika mereka menemukan aliran seperti itu, langsung ditobatkan.
Sementara itu, kepopuleran Kitab “Ad Durrun Nafis” ini ternyata berbanding terbalik dengan makam penulisnya, Syekh Muhammad Nafis Al Banjari. Makam itu baru ramai dikunjungi setelah beberapa ulama datang ke sana untuk berziarah.
Satu di antaranya, KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani di tahun 90-an. Konon, beliaulah yang pada awalnya menunjukkan makam tersebut.
Melihat Abah Guru Sekumpul –sebutan KH Muhammad Zaini- berziarah ke sana, maka banyaklah orang yang datang berziarah ke makam itu.
Hingga tahun 2000 pemerintah bersama dengan para ulama, di antaranya KH Asmuni atau Guru Danau, dan kerabat mulai memperingati haul Syekh Muhammad Nafis.
Sekarang, makam Syekh Nafis sudah dibuatkan bangunan yang layak oleh pemerintah setempat.
Baca Juga : Setelah Bertemu Syekh Yasin, KH Mahfudz Amin Mau Menonton Televisi
Editor: Muhammad Bulkini